Sunday, January 21, 2007

Aceh Tamiang (Pasca Banjir)

Leo, Panji, Impian, Maria, Wiwik dan aku. Ber-enam
kami se-mobil ke RS. Pertamina Brandan, menunaikan
tugas.Aku mengiming-imingi mereka makan siang
ikan aji-aji bakar di pasar tradisional brandan,
Tanjung Mutiara nama warungnya. Aku sama Pak Tommy
beberapa kali kesana. Rasanya dahsyat, sampe Pak
Tommy -yang ngga biasa-biasanya- sampe minta nasi
tambah. Yang bikin special dan beda dari tempat
manapun, sambel 'laot'nya itu. Komposisinya cuma
cabe rawit, bawang, terasi plus jeruk nipis,
Tapi! oh, Neptunus!I bet you'll wont never forget
the fabulousy!Ikannya lumayan besar. Jadi, kalau
budget terbatas, bisa seekor buat berdua. Dibakar,
dan diolesi bumbu yang alamak jang! Singgah la kesana
kalau kalian melewati Kota Brandan.

Setibanya di Rumah sakit, kami makan lontong mie
yang udah dingin, karena di sajikan menjelang makan
siang. Sampe jam 2 kami disana. Tapi karena kami
harus ke Pangkalan Susu dan Kuala Simpang menjumpai
klien yang lain, kami ngga kepikiran lagi untuk makan
siang disana.

Setelah beres di P. Susu kami langsung cabut dengan
terburu-buru ke Kuala simpang. Begitu memasuki
Besitang, kami melihat sisa-sisa banjir. Mulai dari
rumput-rumput yang berbalur lumpur sampai kasur-kasur
yang dijemur di depan rumah-rumah. Furthermore,
kami mulai menyusuri Kabupaten Aceh Tamiang,
lagu-lagu dari laptop ini, mulai tak didengar lagi.
Awalnya, semua bengong, ngga nyangka kalau yang
diberitakan di media-media, aslinya sedahsyat ini.
Semua ngaku, kalau ngga begitu mengikuti semua berita-
berita itu.

Aku memperhatikan, terutama rumah beton, karena dari
cat temboknya bisa dilihat setinggi apa air yang pernah
melewatinya. Dibeberapa titik, ada juga tenda-tenda
darurat yang disponsori UNICEF. Satu kata yang terus
ku ulang. Dahsyat!. Waktu lewat dari sungai Raya,
yang sekarang jadi begitu lebarnya dan terbuka.
Aku membatin ...wah ni dia sumbernya...siapa
yang membuatnya begitu marah?

Memasuki ibukota kabupaten, speechles!
Aku pernah beberapa kali melewati kota ini, sekarang
tak ada yang kukenali selain gedung kantor bupati
dan gedung tank (ini sebutanku, ada banguna menyerupai
mobil tank). Warna mayoritas, coklat lumpur. Suram.
Leo yang humoris cuma diam. Cuma satu yang mencolok
disana, Toko Sepatu, aku lupa namanya. Cuma itu yang
bersih dan mengkilat.

Sekeluar dari Rumah sakit, kami singgah untuk makan
siang (atau malam kali ya? karena udah jam 5.30 sore)
disebuah warung sop. Rasanya enak, lumayan menghilang
kan penat sesudah bekerja. Kami juga disuguhi gado-
gado yang uenak tenan.

Perjalanan pulang ternyata lebih mengharukan, karena
waktu menuju Rumah Sakit Pertamina kami tidak melewati
jalan biasa, tapi memutar karena ada tanda dilarang
lewat. Waktu pulang, kami coba lewat jalan biasa
(sayang, aku ngga tau apa nama jalan itu),
Perkampungan padat penduduk, keadaannya parah,
meyedihkan, lumpur along the view, musik pun dimatikan
sebagai tanda bela sungkawa. Kami juga melewati
pekuburan cina yang sudah disulap jadi hunian darurat.
Masuk akal, karena letaknya agak tinggi.

Hari punmulai menggelap, cewe-cewe di bangku depan
bertelepon dengan anak atau suami. Sementara, aku
membatin...

...
maafkan aku Aceh Tamiang,
karena kemarin aku tidak peduli
bahkan untuk mencari tau kabar kalian.

Setelah melihat semua ini,
paling tidak sebaris doa
kusampaikan untuk kalian.

lumpur tak mengaburkan hatimu
air tak menyurutkan langkahmu
kabar gembira bagi kalian semua
yang telah teruji kesabaran dan
ketabahannya.

tak kulihat keluh di wajah tua muda
yang berlumuran lumpur saat membersihkan
rumah dan dan halaman dari endapan.

bahkan, sekilas melalui jendela mobil
aku melihat kebersamaan dan gotong royong
aku juga melihat padi-padi yang sudah disemai
di sawah kalian.
...

You've survived!

Medan, 17 Januari 2007. 8 pm.

No comments: