Wednesday, January 10, 2007

Journey To Angkasan

Journey to angkasan

Waktu aku masih kecil, aku ngga pernah merasa lebih enak
dari orang lain karena aku tinggal di lembah pegunungan Leuser.
Aku juga ngga pernah berpikir kalau in the next 20 years aku
akan sebegitu exited-nya melewati tempat tinggal ku dulu.

But this time further, aku ke Blangkejeren.
Another 2,5 hours from my childhood neighborhood.
Sesampai disana kami sarapan lontong mie. My favorite.
Kami juga belanja-belanji di pasar tradisional.
Aku dan Yanti sempat juga membeli beberapa sumpit
(aku lupa nama lokalnya)
yang terbuat dari anyaman pandan.

4 hari totalnya aku di daerah ini. Diawali dari desa Penosan Sepakat,
desa titik start pendakian menuju Leuser. Kami (with another
2 friends) memang tidak berencana ke Leuser, hanya puncak
di bawah Leuser saja. Pucuk Angkasan ( 2200-an mdpl).

Tau Mr. Jally kan? Hantunya Leuser.(terlau Narcism kalo dibilang
yang punya Leuser hehehehe... -Peace mr. Jaly)
Sebagai giude dan kenalan, kami singgah dirumahnya silaturrahmi
dan kunjungan balasan (halah!) sekalian menitipkan beberapa
barang non-peralatan pendakian. Laptop, body moisture, sabun,
apalagi komik Conan kaya'nya
ngga diperlukan di puncak.

Malam pertama kami bermalas-malasan di Green Sineubuk.
Masih baru, setelah beberapa tahun lalu "di"lalap api.
Ada 4 bungalow dan 1 kantin. Tepat di pinggir sungai,
ada batu besar, extreeeemly huge. Sudah dipasangi hanger
pula. Karena kami bukan pemanjat, jadi foto-foto bugil saja
sebagai media pengabadian suasana.
Bang Jaly bilang kalau Jufe sering berjam-jam
di batu itu. Ngobrol-ngobrol dan getting high.
Kami juga dibuatkan gelang dan cincin dari rotan.
(sampe hari ini gelangnya masih kupakai)

Dingin sekali disana, setelah foto-foto dan mandi-mandi dan
makan-makan
kami melewatkan malam yang dingin dengan main batu
domino sambil nge-teh jahe. Menjelang gelap Bang Udin,
adik Mr. Jally datang, dia yang akan nge-guide kami ke
Pucuk Angkasan. Budin, anak Mr. Jally akan menyusul
besok pagi-pagi membawa tenda tambahan.
Budin baru pertama kali ke Pucuk Angkasan. Maybe his father
thought that this is the perfect time to his son to get there.
Gimana ga perfect, perjalanan 1 jam ke Tobacco Hut kami
tempuh 1,5 jam !! (man!)


Tobacco Hut
Meninggalkan Sineubok, jalan terjal menuju Tobacco Hut.
Jenis hutan hujan tropis yang umumnya dutumbuhi tumbuhan
Dipterocarpacea. Karena udah lama ngga pernah jalan lagi,
track ini benar-benar such a great warming up buat otot-otot
manjaku. Yanti dan Eric nampaknya enjoy aja, ya iya lah!
yanti si pemanjat kurus yang rajin joging, Eric si
traveller -paling tidak udah pernah ke Leuser- yang tiap
hari jalan kaki kemana-mana.

Blame on me! harusnya jam 10 udah nyampe di Tobacco Hut.
Sebuah ladang tembakau yang sudah tidak digarap lagi.
Trauma petani akan pemerasan, membuat ladang subur itu ditumbuhi
ilalang dan rumput liar. Disebuah pondok -yang dibangun buat
siapa saja yang datang- kami beristirahat, masak mie instant,
Budin belum sarapan dari tadi pagi. Pondok kolaborasi
bambu dan jerami reot ini ber"lantai" dua. Dibawah, bagian yang
tak berdinding, sepertinya buat sapi atau kerbau, sementara
lantai atas, bisa digunakan manusia untuk sekedar berteduh
hujan atau mengistirahatkan penat. Yanti memetik tomat
(Tomat aceh) yang dibiarkan tumbuh di sekeliling pondok.
Lumayan untuk menawarkan rasa penyedap Mie Sakura.

Session selanjutnya, like any other fun-traveller, kami foto-foto.
Siluet yang oke, karena kami berada di dalam pondok yang agak
gelap. Tapi se-oke-okenya, kami cuma pake kamera pocket digital.
Yang dikata sama Fotografer-fotografer keren se-kelas Andi Lubis
(fotografer senior harian Analisa), "ga penting kameranya,
tapi man behind the camera". Karena "man" behind camera,
jadi lah Eric di daulat sebagai pemegang kamera,
dan kami modelnya (*klutuk*).

Next destination is Pucuk Angkasan. Dari sini -terakhir kali
bang udin sama Jufe beberapa minggu lalu- 8 jam full tracking
menuju puncak. Bagian pertama (bah! kayak cerita aja)
kami melewati ilalang (ini bagian yang aku suka).
Diantara lalang-lalang itu, aku mencium wangi yang sedap sekali,
seperti wangi sereh. Aku tau, kalau ini adalah wangi ilalang yang
mengeluarkan aroma karena kena gesekan langkah-langkah kami.
Lalu kami melewati beberapa jenis hutan. Hutan tropis
ber-dipterocarpaceae, diselingi rotan-rotan kecil,
lalu selama 2 jam (chapter 3 kali ya?) kami berada di hutan lumut.

Oh ya! jangan lupa, mau itu chapter 1 atau chapter 4 nantinya,
kami selalu berada dalam udara yang extremly damn cold! dan
sesekali diantara kabut. Nah! yang paling ga enak nih, kalau kita
berpegangan pada dahan yang berlumut, uih!
serasa menggenggam es.
Di hutan lumut ini juga kami ketemu bebepa asesoris hutan.
Ada anggrek hutan, (shit! sampe hari ini aku ngga punya buku
identifikasi tumbuhan,) nih ciri-cirinya:
-bunganya kecil berbentuk terompet
-warna bunga: ungu
-daun kurus lancip
Ada juga jamur, menurut ku kereeeeeen kali, karena aku suka sekali
warna orange.Ketemu juga sama beberapa species kantung semar
-Cie! sok tau, jangan-jangan cuma 1 spesies, cuma dalam
masa pertumbuhan yang berbeda-. (Biarin!).

Setelah hutan lumut, menjelang puncak kami berganti jenis hutan.
Khas puncak. Ngga ngerti sih! tapi jenisnya palem-paleman gitu,
ada juga rumput-rumput dan ilalangnya. (liat foto aja ya?).
Nah! tepat di saat mulai berganti hutan inilah kami sampai di
sebuah shelter. A perfect time and point to lunch.
Sudah jam 2 siang rupanya. Pantes kampung tengah sudah mulai
repot. Seperti makan siang pendakian umumnya,
kami makan roti, nutrisari, coklat dan permen. Kata Bang udin,
3 jam lagi sampai puncak. Semangat lagi deh! Baru aja mau
berangkat, kami kedatangan teman, mereka baru aja turun dari
pucuk angkasan. Setelah selidik-selidik, baru mereka berani
menunjukkan bawaaannya, tepatnya panenannya.
"Mereka udah seminggu diatas, baru panen". Kata bang Udin.
Kami lalu ditunjukkan isi goni-goni plastik itu.
Fualaa...!!! Eric langsung screaming ala fans Bob Marley!
Trus, Biasa! langsung foto-foto dengan barbut (barang bukti -red).

The last awesome 4 hours! kami disuguhkan panorama-panorama
yang amazing! punggungan yang berlapis-lapis, nothing but green
and blue. Agak lambat kami menyelesaikan chapter 4 ini. 3,5 jam.
Tertatih-tatih aku menuju pilar. Akhirnya! Finally! Jeng..jeng...
tibalah kami di Pilar Angkasan. Bang Udin dan Budin udah sampai
duluan mereka udah mulai mendirikan tenda dan "illegal logging"
untuk kayu bakar. Selesai api unggun dinner kami ngobrol-ngobrol
sambil nge-teh ngopi di sekitar api. Sayang, aku demam, jadi sisa
malam itu aku cuma dengar-dengar aja mereka yang lagi
'genye-genye' dan main batu domino.Ampuuun dinginnya,
mana ujan lagi. Jadilah kami semua cuma tidur-tidur ayam.
Selain aku, mereka begadang sampe jam 2 menyambut pergantian
tahun.

Happy New Year!!!!
Kali ini, aku melewatkan private evaluasi and wishes.
Tapi, sudah kubisikkan pada ranting-ranting dan langit cerah esok
harinya, kalau aku ingin jadi sesuatu tahun ini. Istilah Paulo Coelho
di Alkemis-nya "to fulfil your personal legend".

Subuh-subuh, Alarm Eric membangunkan tidur ayam ku. Mau lihat
sunrise tahun baru katanya. Sementara aku masih bergulung di
sleeping bag. Bisa tidur juga akhirnya. Jam 10, aku dan Yanti
menyiapkan sarapan. Masih berapi-unggun ria hasil illegal logging
bang Udin. Jam 11 kami meninggalkan Puncak. Jalan pulang ternyata
lebih memilukan (hu..hu..). Logikanya, naik terjal amat, pasti
turunnya terjal amat juga. Lutut lemes, tapak kaki lecet, pinggul
berceceran. Tapi kami lebih santai, bisa foto-foto Fauna.
Kami juga melewati sebuah gua vertikal pendek yang bermuara di
sungai. Gua ini didiami kelelawar dan harimau. Tapi tentu saja,
karena ini siang hari, kami hanya menjumpai kelelawar saja.
Sang "nenek" -sebutan untuk harimau- pastilah sedang bermain
bersama dayang-dayang di singgasananya.

Jam 3.30 kami tiba lagi di Tobacco Hut. Yippie! Mie sakura lagi.
Kali ini plus cabe yangpuedhesbanget (karena tidak pakai pupuk)
plus daun bawang. Busyeeet... Uenaaaak banget. Udara dingin begini!
Jam 4 kami bergerak turun lagi. dari sini 1 jam ke Sineubok Green.
Di jalan, kami sempat mengambil beberapa batang rotan-rotan kecil.
Yanti bilang ntar bisa buat gelang buat oleh-oleh.

Kali ini kami cuma singgah sebentar di Sineubok Green. Si Eric,
pake lagak mau mandi lagi. Beee! ga tau dia! siang aja super dingin
apalagi sore dan sudah mulai gelap begini. Benar saja! baru 5 menit
dia nyengar-nyengir balik ke Bungalow. Kami memutuskan untuk
bermalam dirumah Mr. Jaly saja. Capek kali soalnya. Jam 7.30 kami
sampai. Disana ada Manto yang sudah menunggu dengan senyum
manisnya. Langsung disuguhi kopi (uenak-banget) gayo.
Setelah bersih-bersih di kamar mandi (yang di aliri air sungai yang
tak henti-henti) ala kadarnya (busyet... how many times a month do
people around here take a bath in a day? dingin kaleee) kami tidur,
kali ini pulas.

Besok harinya kami hanya bermalas-malasan memanjakan badan.
Cuma Manto si gila foto yang jalan-jalan ke Blang Lopa, sebuah telaga
"surgawi" yang berjarak 4 km dari rumah Mr. Jaly.
Sorenya kami berangkat pulang ke Medan. My lovely hometown.

Perjalanan ini meninggalkan sesuatu di hatiku. Keakraban dan
keramahan masyarakat sekitar, yang tampaknya begitu rindu akan
lelangkah kaki tamu atau mereka biasa menyebutnya turis.
Mereka selalu mengundang kami ke rumahnya, yang aku tau
ukan basa-basi. Satu lagi yang kulihat, rumah Mr. Jaly pun tak pernah
sepi dari kedatangan orang-orang, sekadar minum kopi atau menghisap
rokok daun. Begitu akrab suasananya. Kalau tiba saatnya jam makan,
maka siapa yangada di rumah pasti juga ikut makan. Bukan aji mumpung,
itu ku tau dari istri Mr. Jaly, karena tadi pagi, waktu kami masih pulas,
ternyata Mr. Jaly sarapan di tempat tetangga. Itu memang hal yang biasa
di sana.

Ah! kalau saja lebih banyak yang mengerti lagu John Lennon "Imagine".
Mungkin secara sederhana, beginilah terapannya, isn't it Mr. Lennon?

Kompas USU 1:14 am January 9

No comments: